Selanjutnya keluarga Yamato kesulitan mempertahankan sentralisasi negara dan mulai mendelegasikan tugas militer, administrasi, dan penarikan pajak pada mantan pesaing yang befungsi sebagai gubernur. Yamato dan kekaisaran makin melemah, sedangkan gubernur lokal makin kuat. Beberapa di antara mereka berevolusi menjadi daimyo atau penguasa feodal yang menguasai teritori tertentu dan independen dari pemerintahan pusat.
Periode tersebut disebut masa Heian (749-1185) yaitu ketika Jepang terpisah dalam beberapa provinsi yang dipimpin oleh gubernur (daimyo) yang langsung didatangkan dari ibukota kekaisaran Heiankyo (Kyoto). Para daimyo umumnya adalah pangeran yang memiliki pasukan pengawal. Pengawal inilah yang dikenal sebagai samurai. Istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”.
Para daimyo makin mandiri dan secara perlahan meningkatkan anggota pasukan samurai mereka, dan menyiapkan klan keluarga masing-masing sebagai penguasa turun-temurun. Pada periode tersebut pasukan samurai yang mereka miliki berkembang menjadi kelompok ksatria profesional yang juga menjadi profesi turun-temurun.
Pada awal abad ke 12 para gubernur provinsi (daimyo) yang lebih kuat dan kaya mulai bersaing untuk meraih kekuasaan. Pada tahun 1185 Minamoto no Yoritomo seorang panglima perang dari provinsi timur berhasil mengalahkan daimyo lainnya dan secara resmi menunjuk dirinya sebagai shogun yang berarti diktator militer. Mulaiah berlaku sistem feodal dengan pemerintahan militer (Bakufu) atas provinsi-provinsi.
Selanjutnya penguasa militer datang silih berganti. Namun, sejak saat itu, semua shogun, daimyo, beserta pasukan samurai mereka menjadi salah satu kelompok masyarakat yang paling hebat di Jepang dan mereka menguasai negara hingga 1867 (selama hampir 700 tahun). Seiring berjalannya waktu, semua anggota kelas penguasa, mulai dari shogun hingga ksatria yang paling rendah kastanya secara umum disebut sebagai samurai.
Pada tahun 1400, jumlah anggota kelompok samurai di Jepang mencapai angka 10 persen dari seluruh populasi masyarakat. Karena tidak ada masa peperangan, para samurai mulai merambah ke berbagai aspek budaya. Para samurai menggabungkan latihan keras dalam seni perang dengan studi ilmu klasik China seperti sastra, puisi, kaligrafi, seni lukis, dan seni keramik. Semakin tinggi derajat samurai termasuk shogun, maka semakin penting pula pelajaran tersebut baginya.
Keadaan aman tanpa perang berlangsung hingga 1467 sebelum akhirnya pemerintahan shogun melemah dan para daimyo mulai berusaha mengambil alih kekuasaan tertinggi.
Periode berikutnya dikenal dengan periode Senoku –yang berarti periode perang- berlangsung selama 101 tahun. Pada masa itu serangkaian pertempuran dan peperangan hebat terjadi di kalangan daimyo untuk saling menguasai.
Selama periode perang tersebut keahlian luar biasa dalam seni olah pedang serta senjata lain menjadi sebuah keharusan bagi para samurai. Setiap shogun dan daimyo di seluruh jepang membentuk dojo atau sekolah beladiri yang dipimpin oleh para master atau pendekar pedang. Perang antar klan ini menimbulkan kekacauan dan kehancuran. Tak terhitung banyaknya warisan seni dan budaya yang dihancrkan seperti kuil, bangunan kuno, perpustakaan yang hancur dan hilang lenyap.
Masa berikutnya Jepang berhasil disatukan sehingga mencapai masa perdamaian oleh tiga panglima perang yaitu: Oda Nobunaga (1534-1582), Toyotomi Hideyoshi (1536-1598), dan Tokugawa Ieyashu (1542-1616). Setelah satu abad lebih mengalami kekacauan, masa damai itu berdampak pada kemakmuran ekonomi dan perkembangan seni dan budaya yang terus meningkat. Arsitektur benteng menjadi marak, minat baru terhadap sastra dan puisi serta lukisan bermunculan. Upacara minum teh mencapai puncaknya, dunia keramik terus merambah bidang baru. Sedangkan ilmu bela diri pun terus berkembang.
Pada masa pemerintahan Tokugawa diberlakukan kebijakan pengasingan nasional. Semua orang Jepang dilarang meninggalakan negara secara permanen dan menolak semua orang asing mengunjungi Jepang. Jepang benar-benar terisolasi dari dunia internasional. Kebijakan ini menjadi faktor paling penting dan menyebabkan panjangnya masa pemerintahan Tokugawa hingga mencapai 250 tahun.
Pada masa Tokugawa, samurai menduduki posisi sekaligus memiliki hak-hak istimewa. Bersama dengan kelurga, samurai ini berjumlah sekitar 7-10% populasi nasional. Mereka diberi hak istimewa dan jaminan sosial yang lebih tinggi serta upah tetap yang turun temurun. Hal itu berdasarkan undang-undang yang ditetapkan Hideyoshi dan dilanjutkan oleh Tokugawa.
Karena tidak terlibat perang, samurai pada masa Tokugawa menggunakan waktu luang mereka untuk mendapat derajat pendidikan yang tidak dikenal di masa dahulu. Selama periode ini, para samurai yang sudah mendalami berbagai disiplin ilmu lain di luar seni perang, secara kolektif mulai menuliskan ciri-ciri ideal seorang samurai yang dikenal dengan Bushido atau Jalan Ksatria.
Inti bushido pada era Tokugawa adalah keyakinan bahwa samurai harus memiliki kesetiaan mutlak pada tuan/pimpinan mereka dan memiliki standar moral tinggi untuk semua tindakan dalam kehidupannya.
Kode etik Bushido mengendalikan setiap aspek kehidupan para samurai. Petunjuk utama para samurai dalam hukum tersebut adalah mereka harus mengembangkan keahlian olah pedang dan berbagai senjata lain, berpakaian dan berperilaku secara khusus, dan mempersiapkan kematian yang bisa terjadi sewaktu-waktu ketika melayani tuannya.
Bushido kemudian membentuk karakter dan perilaku masyarakat Jepang secara umum dengan cara tertentu, hingga mencapai tingkatan yang belum pernah diraih sebelumnya. Para Samurai mengajari anak-anak selama 250 tahun.
Kedatangan Laksamana Matthew Perry dengan armadanya dari Amerika di tahun 1853 yang memaksa Jepang membuka pintunya bagi perdagangan Amerika, mengakhiri masa isolasi masyarakat Jepang yang telah berlangsung selama 250 tahun.
Saat itu Tokugawa sadar bahwa tidak bisa mempersatukan dan membangun Jepang hanya dengan pedang dan tradisi yang kaku, maka kekuasaan diserahkan kepada Meiji.
Sistem feodal kuno dan kelas samurai dihapuskan secara resmi. Meiji memerintahkan para samurai untuk menyarungkan semua katananya dan diganti dengan pena, teknologi, undang-undang, dan ilmu pengetahuan. Saat itu dua juta Samurai dikembalikan ke masyarakat, mereka belajar bahkan pergi ke Amerika. Mereka juga menterjemahkan berbagai buku asing. Dengan semangat Bushido, mereka membangun Jepang.
Bushido tetap menjadi pedoman masyarakat Jepang, mereka rela mati demi negara atau Kaisar. Pada masa perang dunia kedua, tentara Jepang menggunakan bushido sebagai wujud rela mati demi Kekaisaran dengan menjadi pasukan berani mati (kamikazee). Abad ke 20 ini Jepang mulai mengembangkan diri menjadi negara industri maju. Kemajuan Jepang tidak lepas dari latar belakang tertanamnya Bushido dalam diri Samurai.
Jalan Samurai
Kita bisa membuat cahaya dalam diri tumbuh menjadi sebuah bintang. Bintang akan meledak dan menjadi ratusan serpihan-serpihan cahaya. Dan setiap serpihan cahaya itu bagaikan sebuah pedang, yang dapat menghilangkan semua hal negatif dan membawa kesucian pada dunia ini.
Hal yang paling mendasar dalam prinsip samurai adalah ajaran untuk senantiasa hidup dengan kejujuran terhadap diri sendiri; jika tidak, mereka dianggap belum benar-benar menjalani hidup secara utuh.
Ajaran tersebut meski tampak sederhana namun sesungguhnya sangat bermakna dan membawa kedamaian dalam hati setiap samurai. Jika telah jujur pada diri sendiri, maka secara spontan mereka pun akan jujur pada siapapun.
Bunga sakura adalah salah satu simbol samurai, karena bunga sakura mekar bersemi hanya dalam waktu yang singkat. Seperti prajurit samurai, bunga sakura gugur di puncak kematangannya, akan tetapi jiwa samurai tetap abadi dengan keindahannya.
Hal tersebut membuat mereka belajar untuk senantiasa menghargai detik demi detik kehidupan dan menghargai serta menikmati momen-momen sebagai sesuatu yang indah.
Mereka melakukan yang terbaik dalam setiap gerak dan tindakannya karena mereka tidak menginginkan ada penyesalan dengan membiarkan waktu berlalu begitu saja. Itulah prinsip sakura. Shingen Harunobu Takeda, sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir mengucapkan sebait puisi:
Seperti biasa, serahkan pada tanah,baik untuk kulit dan daging,tanpa perlu berlumur merah dan putih,sendiri bersama hembusan angin
Hati memiliki kekuatan yang tak terhingga
karena ia terhubung langsung dengan alam semesta. Alasan lain yang
membuat mereka tidak mengutamakan sisi fisik, karena meskipun keberadaan
manusia adalah kombinasi fisik dan spiritual, namun kelak jiwa akan
tetap hidup meskipun fisik hancur.
Paparan di atas dapat menggambarkan sosok
samurai bahwa mereka bukan hanya melayani tuannya, tapi hidup untuk
melayani hatinya. Karena itu mereka selalu berusaha untuk hidup dengan
pikiran yang jernih dan hati yang murni.
Arti Pertempuran
“Jika Anda memenangkan ratusan perang, itu bukanlah suatu kebanggaan. Jika Anda menang tanpa harus berperang, itulah kebanggaan yang sesungguhnya.” (Shingen Harunobu Takeda)
Kenshin Uesugi pun sangat menjunjung tinggi nilai keadilan. Jika ia tidak melihat keadilan dalam suatu pertarungan, maka ia tidak akan ambil bagian di dalamnya. Kenshin dikenal sebagai seorang samurai spiritual yang sesungguhnya. Shingen dan Kenshin menunjukkan bahwa seorang samurai sangat mengutamakan sopan santun dan menunjukan rasa hormat diantara keduanya.
Samurai spiritual memaknai pertempuran sebagai sesuatu yang sakral. Bagi mereka musuh harus dihormati musuh, hal itu merupakan cerminan dari menghormati diri sendiri. Menurut kode samurai, baik menang ataupun kalah, keduanya harus dilakukan dengan keindahan dan harga diri. Karena itu dalam peperangan mereka dipagari oleh ajaran etika prajurit yang ketat.
Beberapa etika pertarungan mereka adalah:
• Tidak Menyerang dari Belakang: Seorang samurai tidak akan pernah menyerang musuhnya dari belakang, karena hal ini dianggap merendahkan. Hal ini masih dijalankan dalam sistem pertandingan karate modern hingga saat ini.
• Dilakukan dengan Keindahan & Harga Diri Menurut kode samurai, baik menang ataupun kalah, keduanya harus dilakukan dengan keindahan dan harga diri.
• Dilakukan Sampai Tuntas. Karena pertarungan ini adalah semacam suratan takdir, maka merupakan tugas sang samurai untuk menjalankannya dan bertanggung jawab akan hasil akhirnya sampai tuntas.
Walaupun ada beberapa samurai yang sepenuhnya militaris, sebagian lainnya adalah samurai spiritual yang mencoba memahami dunia dan kontradiksi di dalamnya. Para samurai ini lebih merasa terhormat jika melindungi daripada membunuh. Pedang mereka merupakan simbol spiritualitas dari komitmen, amanah, dan ‘wadah’ bagi jiwa mereka.
Dalam biografinya yang terkenal Toyotomi hideyoshi mengatakan: ”Meski dikenal karena kemampuan kemiliteran, aku masih lebih bangga dengan keterampilanku sebagai seorang negarawan. Aku lebih memilih berdiplomasi daripada bertempur. Sebagian besar penaklukan yang kulakukan terjadi tanpa pertumpahan darah, dan banyak orang berkata bahwa aku adalah diplomat terbaik dalam sejarah Jepang. Jika kau ingin mencapai kesepakatan yang menguntungkan dengan mereka yang berseberangan denganmu –tanpa harus memenggal kepala mereka- maka kau akan merasakan manfaat dari pendekatan yang kulakukan.”
SAMURAI MODERN
Berbagai media masa dunia beberapa waktu lalu menayangkan penampilan langsung dari orang nomor satu Toyota Motor Corporation, Toyoda Akio (53 tahun) di depan Kongres AS pada tanggal 24 Februari 2010. Kemunculan cucu dari pendiri Toyota ini berkaitan dengan masalah recall (penarikan) produk Toyota sebanyak 8,5 juta unit.
Meski sempat mendapat kecaman, Toyoda Akio secara “ksatria” datang ke negeri Paman Sam (AS) untuk bersaksi dan menjawab pertanyaan dari anggota parlemen AS. Pada kesempatan itu, presiden Toyota tersebut meminta maaf kepada Kongres dan masyarakat Amerika dan berulang kali mengatakan “deeply sorry” atas kasus yang memakan korban kecelakaan. Toyoda pun mengatakan bahwa ia ikut berduka dari hati yang paling dalam. Tampak dalam layar kaca bagaimana sikap Toyoda yang membungkuk penuh hormat saat mengungkapkan perasaannya.
Dunia pun melihat bagaimana cucu
pendiri Toyota, menaikkan tangannya ke atas, bersumpah mengatakan yang
sesungguhnya kepada Komite Dewan Pengawas dan Reformasi Pemerintahan.
Dalam testimoni yang berlangsung selama 3,5 jam, Toyoda berkata, “Kami
tidak akan pernah lari dari tanggung jawab atau membiarkan masalah ini
begitu saja. Saya justru khawatir dengan pertumbuhan kami yang terlalu
cepat.” Kemudian ia menyampaikan komitmennya, “Anda sudah mendengar
komitmen pribadi saya bahwa Toyota bekerja keras, tanpa henti
memperbaiki kepercayaan terhadap pelanggannya,” lanjut Toyoda.
Sikap yang ditunjukkan oleh pimpinan tertinggi Toyota di depan
Kongres mengundang kekaguman dan simpati dunia. Kesantunan Toyoda sangat
berbeda dengan gaya para CEO tiga pabrik mobil terbesar di Amerika
Serikat (GM, Ford, dan Chrysler) yang pada bulan November 2008 lalu juga
menghadap Kongres meminta dana talangan (bail out) dengan menggunakan
jet sewaan khusus. Sikap yang tidak menunjukkan rasa empati pada ribuan
karyawan yang sedang proses PHK tersebut tentu saja menuai kritikan
tajam berbagai pihak.Sikap terhormat yang mencerminkan rasa tanggung jawab dan kepedulian yang ditunjukkan Akio Toyoda sesungguhnya menunjukkan bahwa semangat bushido yang dimiliki leluhur Jepang masih terwariskan pada generasi mudanya saat ini. Meski jaman sudah berganti, kode etik moralitas para samurai tersebut ternyata belum luntur hingga saaat ini.
No comments:
Post a Comment